Minggu, 19 April 2009

Penerapan Syariah dalam sebuah Tinjauan

Sesungguhnya isu penerapan syariah merupakan tantangan terbesar yang dihadapi kaum muslimin era modern ini. Sebaliknya musuh Islam berusaha sekuat tenaga menjauhkan kaum muslim dari penerapan syariah Islam. Ideologi-ideologi besar di dunia dari komunis, kapitalis sampai liberalis telah ditancapkan di seantero dunia ini tapi belum berhasil. Kini, ideologi dan tuntutan syariah Islam menjadi suatu keniscayaan.
Karenanya tidak ada Islam tanpa syariah, dan seorang muslim boleh saja berdusta kepada dirinya, sebaliknya seorang muslim yang hatinya tenang dan yakin dengan syariah pastilah akan mendambakan penerapan syariah dan tidak membiarkan kemudaratan menjadi lebih besar daripada kemaslahatan. Bahkan Abdul Qodir Audah mengatakan: sungguh aneh orang muslim yang beriman kepada Alloh tapi dia tidak mau melaksanakan syariat. Atau dia mau beriman kepada Alloh tapi tidak mau melaksanakan jinayah.
Oleh karenanya syariah Islam merupakan jalan satu-satunya untuk mengembalikan kaum muslim kepada kekuataan dan izzah. Tanpa syariah tidak ada harapan lagi mengeluarkan realitas kaum muslimin dari kebodohan, kerusakan, korupsi, perpecahan dan keterbelakangan.

Definisi Syariah

Secara etimologi syariah berarti aturan atau ketetapan yang Alloh perintahkan kepada hamba-hamba-Nya, seperti: puasa, shalat, haji, zakat dan seluruh kebajikan. Kata syariat berasal dari kata syar’a al-syai’u yang berarti menerangkan atau menjelaskan sesuatu. Atau berasal dari kata syir’ah dan syariah yang berarti suatu tempat yang dijadikan sarana untuk mengambil air secara langsung sehingga orang yang mengambilnya tidak memerlukan bantuan alat lain.
Syariat dalam istilah syar’i hukum-hukum Alloh yang disyariatkan kepada hamba-hamba-Nya, baik hukum-hukum dalam Al-Qur’an dan sunnah nabi Saw dari perkataan, perbuatan dan penetapan.
Syariat dalam penjelasan Qardhawi adalah hukum-hukum Alloh yang ditetapkan berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an dan sunnah serta dalil-dalil yang berkaitan dengan keduanya seperti ijma’ dan qiyas.
Syariat Islam dalam istilah adalah apa-apa yang disyariatkan Alloh kepada hamba-hamba-Nya dari keyakinan (aqidah), ibadah, akhlak, muamalah, sistem kehidupan dengan dimensi yang berbeda-beda untuk meraih keselamatan di dunia dan akhirat.
Syariat Islam adalah setiap apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw dari Alooh Swt dan yang berkaitan dengan perbaikan aqidah untuk membebaskan manusia dari cengkraman berhala dan khurofat dan untuk memperbaiki akhlak manusia dari segala hawa nafsunya serta memperbaiki masyarakat untuk membebaskan mereka dari kezaliman dan kediktatoran manusia. Untuk itu syariat Islam dibangun dengan tiga pilar: Pertama: aqidah secara akal (aqidah aqliyyah), Kedua: Spirit Ibadah (Ibadah Ruhiyah), Ketiga: Peraturan , Hukum dan UU (Nizhom Qonuni Qodhoi).

Karakteristik Syariah Islam

Yusuf Al-Qaradhawi menyebutkan 6 karakteristik syariah Islam:

1. Robbaniyah (Teistis)
Kekhasan syariat Islam dibanding dengan konstitusi lain bersifat rabbaniyah dan religius. Pencipta syariat ini bukanlah manusia yang memiliki kekurangan dan kelemahan serta pengaruh oleh faktor situasi, kondisi dan tempat dimana ia berada.
Oleh karenanya syariat ini bersifat robbani, maka tidak ada alasan seorang muslim untuk menolaknya baik sebagai subyek hukum maupun sebagai objek hukum. Jiwa seoranq muslim yakin bahwa hukum-hukum syariatlah yang paling adil dan sempurna dan selaras dengan kebaikan serta dapat mencegah segala kerusakan.

2. Insaniyah (Humanistis)
Syariat disiptakan untuk manusia agar manusia derajatnya terangkat, sifat manusianya terjaga dan terpelihara. Oleh karena itu, syariat Islam menetapkan berbagai bentuk ibadah untuk memenuhi kebutuhan spiritualnya, bukan hanya makhluk jasmani dipuaskan dengan makan, minum dan menikah.
Disamping memeprhatikan sisi rohani, syariat juga tidak melupakan sisi fisik dan dorongan nurani. Oleh karena itu, syariat mendorong manusia untuk berjalan ke seluruh penjuru bumi mencari karunia Alloh dan memakmurkan planet ini.
Syariat Islam diciptakan untuk manusia dengan syariat insaniyah, sesuai dengan kapasitasnya tanpa menghiraukan ras, warna kulit tana air dan status.

3. Syumul (komperehensip)
Syariat Islam mengatur seluruh aspek kehidupan. Baik aspek ibadah, aspek keluarga, aspek perdagangan dan ekonomi, aspek hukum dan peradilan, aspek politik dan hubungan antar negara.
Syariat mengatur baik urusan dengan Alloh seperti shalat, puasa dan lainnya maupun yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari dan muamalah.
4. Akhlaqiyah (Etis)
Syariat Islam memperhatikan sisi akhlak dalam seluruh aspeknya dengan makna yang terkandung dari Nabi bahwa ia bersabda: Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.
Untuk itu tujuan syariat untuk menegakan tatanan sosial dan mewujudkan keteladanan dalam kehidupan manusia, menaikan derajat manusia serta memelihara nilai-nilai ruhani dan etika.
5. Waqi’iyah (Realistis)
Syariat Islam bersifat realistis. Perhatiannya terhadap moral tidak menghalangi syariat untuk memperhatikan realitas yang terjadi dan menetapkan syariat yang menyelesaikan masalah.
Sifat realistis ini diantaranya dapat mengikuti perubahan yang terjadi dalam masyarakat, baik yang disebabkan oleh kehancuran zaman, perkembangan masyarakat maupun kondisi-kondisi darurat. Para ahli fiqih terkadang mengubah fatwa sesuai dengan perubahan zaman, temapat, kebiasaan dan kondisi.
6. Tanasuq (Keterarturan)
Keteraturan adalah bekerjanya semua individu dengan teratur dan saling bersinergi unruk mencapai tujuan bersama, tidak saling benci, tidak saling sikut, dan tidak saling menghancurkan. Karakter seperti ini disebut dengan takamul (saling menyempurnakan).
Keteraturan nampak pada alam dan syariat seperti sebuah keseimbangan. Artinya nampak keteraturan pada syariat Alloh seperti apa yang kita dapat dari ciptaan-Nya.
Oleh karenanya, syariat Islam mengatur seluruh aspek kehidupan dan relevan setiap zaman dan tempat. Jika demikian syariat Islam relevan dalam masa kini baik di negeri arab maupun selainnya. Syariat Islam mencakup segala aspek kehidupn manusia baik sosial, politik, ekonomi maupun pemikiran.
Islam juga mencakup di dalamnya hak-hak dan kewajiban baik hak khusus maupun umum. Dalam hak khusus, diantaranya:
1. Syariat menjelaskan tentang hak-hak keluarga dan memberikan hak dan kewajiban bagi suami istri. Untuk suami diberikan sebagai kepala rumah tangga dan hak kepemimpinan (Qs. 4:34).
2. Syariat menjelaskan tentang hak-hak sosial dan muamalah. (Qs.4:29). Dengan syarat segala kegiatan ekonomi dan sosial bertentangan dengan syariat serta tidak memberikan kemudharatan satu sama lain.
3. Syariat menjelaskan tentang hukum jinayat dan menganggap hal tersebut adalah jarimah dan berhak sanksi dan hukuman bagi pelakunya.

Dalam hal hak yang bersifat umum dengan tiga prinsip, yakni:
1. Syariat menetapkan prinsip kebebasan dengan bingkai syariat yang tidak mengakibatkan cacat dan perilaku amoral atau kelebihan batas.
2. Syariat menetapkan prinsip persamaan. Karenanya, manusia adalah sama dalam setiap haknya, tidak ada perbedaan satu sama lain. Ukurannya adalah dengan ketaqwaan. (Qs.Al-Hujurat:13).
3. Syariat menetapkan prinsip syuro atau musyawarah. Prinsip ini bertujuan untuk mencapai kemaslahatan bagi manusia.

Jadi tidak ada penerapan dalam sebuah negara kecuali dengan syariat Islam walaupun kondisi dan situasi sudah berubah. Qaradhawi menawarkan kembali kepada ijtihad dan pintu ijtihad masih terbuka.

Gerakan dan Tuntutan Syariah

Sebenarnya hukum-hukum syar’i sudah sangat jelas dan terang baik dalam Al-Qur’an maupun dalam hadits. Begitu pula terkodifikasi dalam buku-buku fiqh dalam bab dan sub bab. Karenanya, dengan mudah sekali bagi yang hendak mendapatkan hukum-hukum syar’i. Tetapi sebagian orang bersikukuh untuk menkodifikasikan dalam undang-undang.
Untuk itu tuntutan penerapan hukum Islam ini ini menjadi topik hangat di belahan dunia Islam yang dimulai dengan gerakan tanzimat di Turki melalui majalah al-ahkam al-adliyah. Yaitu gerakan regulasi dan reformasi politik dengan tujuan membangun kesultanan Turki Utsmani menuju negara modern pada tahun 1839.
Gerakan kebangkitan Islam yang kita saksikan belakangan ini dimulai pada tahun 70an. Hal ini tidaklah muncul secara spontanitas sebagaimana yang difahami sebagian orang. Akan tetapi kebangkitan ini memiliki gerakan pembaharuan yang dimulai dari gerakan di Jazirah Arab oleh Muhammad bin Abdul Wahhab abad 17an yang lalu (wafat tahun 1792 M) dan Gerakan dakwah Sanusi di Libya (w.1859 M). Kemudian gerakan penerapan hukum syariat di Selatan Mesir oleh Muhammad Ahmad Al-Mahsi (w.1885 M) dan dilanjutkan oleh Jamaluddin Al-Afghani (w.1897 M) dan Abdul Rahman Al-Kawakibi (w.1802 M) kemudian gerakan pembaharuan dan penyelamatan oleh murid Al-Afghani yaitu Muhammad Abduh (w.1905 M).
Kemudian munculah gerakan Ikhwanul Muslimin yang dipimpin oleh seorang pemuda yang bernama Hasan Al-Banna tahun 1929. Gerakan dakwah Ikhwan ini menyebar ke penjuru dunia arab dan belahan dunia Islam lainnya. Perkembangan gerakan dakwah ini yang paling besar dalam abad 20 ini dan tercatat gerakannya lebih dari 70 negara di dunia Islam. Gerakan yang bertujuan kembali kepada ajaran Islam dengan memadukan konsep tarbiyah (pendidikan) dan jihad. Dalam perjalanan menuntut syariah Islam banyak diantara tokoh-tokohnya mati syahid di tangan pemerintah mesir waktu itu, diantaranya: Hasan Al-Banna, Abdul Qodir Audah, Yusuf Tholaat dan Sayyid Qutb. Sayyid Qutb dan Abdul Qodir Audah menjadi rujukan tokoh gerakan Hasan Al-Banna selanjutnya.
Gerakan lainnya muncul di India yang dipelopori oleh Abul A’la Al-Maududi yahun 1941 dengan tujuan mengembalikan dakwah kepada Aloh dengan menjadikan manusia beribadah hanya kepada Alloh dan menerima hukum (al-hakimiyyah) hanya dari Alloh Swt serta menolak segala bentuk jahiliyah. Begitu pula gerakan yang terjadi di Al-Jazair yang dipimpin oleh Abdul Hamid Badis dengan mendirikan organisasi ulama Al-Jazair. Gerakan dakwah ini melalui masjid, sekolah dan surat kabar. Gerakan–gerakan ini terilhami dari gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir yang dibawa oleh Hasan Al-Banna yang menuntut penerapan syariah Islam di bumi Mesir.
Karenanya Ikhwan dalam perjuangannya menuntut penerapan syariat Islam dari awal berdirinya. Suatu kali Hasan Al-Banna menulis dalam surat kabar Ikhwan seputar kewajiban penerapan syariat dan keistimewannya serta perbandingan antara syariat dan undang-undang buatan manusia. Al-Banna menulis kepada ulang tahun negara yang ke 50 dengan mengingatkan pemerintah waktu itu bahwa konstitusi negara menyebutkan agama negara adalah Islam. Oleh karenanya wajib bagi pemerintah mengimpelementasikan syariat Islam.
Gerakan lainnya juga dilakukan di Turki dengan semangat mengembalikan khilafah dari rezim sekuler Mustafa Kamal. Gerakan ini dipelopori oleh An-Nursi. Kemudian di Maroko oleh Abdul Salam Yasin dengan gerakan keadilan dan ihsan (al-adlu wal ihsan). Dilanjutkan dengan gerakan pembaharuan dan reformasi oleh Ahmad Raisuni.
Gerakan ini berkembang sampai ke Indonesia yang dipelopori oleh Dewan Dakwah Islam Indonesia yang dipimpin oleh Muhammad Nasir. Kemudian revolusi kebangkitan Islam di Iran dengan gerakan yang dihimpun Khomeni yang menggulingkan presiden Shah waktu itu.
Di Mesir berdiri Jamaah Jihad dan Jamaah Islamiyah, keduanya menggunakan kekuatan dengan mengadakan perlawanan bagi pemerintah yang tidak berhukum dengan syariat. Pemikiran mereka bercampur denga jamaah takfir wal hijrah yang melakukan pengkafiran kepada orang. Walaupun jamaah takfir dan jihad sebenarnya berbeda dalam dasar perjuangannya. Inilah yang menjadi perbedaan antara Ikhwan dan jamaah jihad ini, bahwa ikhwan tidak mentolerir kekerasan sedikitpun.
Harapan dan tuntutan penerapan syariah begitu marak di dunia Islam, terlebih lagi dilakukan dengan tanpa kekerasan. Dari gerakan dakwah Islam tadi sudah seharusnya menjadi pelajaran besar bagi kaum muslimin.
Tuntutan penerapan syariah menggelora dalam dunia Islam tersebut dibarengi dalam semua lini; politik, sosial, wawasan, peradilan dan akhlak. Hal ini beririsan dengan gerakan dakwah Islam bertahun lamanya dengan berbagai pengalaman baik intimidasi, kezaliman, penjajahan dan penguasaan imperalis terhadap dunia Islam. Untuk itu menjadi jelas bagi kita bahwa ajaran Islam tidak dipandang dengan sebelah mata, melainkan secara komprehensif.
Bukan yang difahami dari penerapan syariat Islam dengan sanksi dan hukuman saja seperti potong tangan, rajam dan qishos tetapi perlu ditinjau dari sisi lain yakni melindungi masyarakat dan pendidikan bagi mereka, prinsip syuro, ketaatan yang tidak absolut (tidak taat kepada orang yang bermaksiat kepada Alloh), menolak kediktatoran dengan cara apapun, keadilan dan persamaan di depan peradilan, dll.
Gerakan-gerakan Islam diatas perlu dilanjutkan dengan bersatunya semua gerakan dakwah itu dalam satu wadah dalam gerakan internasional dan mengembalikan kembali batu asasi Islam yang sudah hilang.

Hambatan-hambatan dalam penerapan syariah

Tuntutan syariat Islam menjadi suatu kewajiban. Disamping itu ada hal-hal dimana syariat islam itu tidak mudah dilaksanakan. Setidak-tidaknya ada empat hal
yang menjadi hambatan penerapan syariah:

1. Jahil terhadap agama.
Tidak mengetahui agama dengan baik dan benar. Untuk itu jika difahami agama dengan parsial atau pemahaman yang tidak utuh maka dalam hal ini menyulitkan dalam penerapan dan oenegakan syariah. Karenanya, diperlukan syarat taklif atau syarat bagi mukallaf memiliki pemahaman yang baik tentang agama ini.
Setidaknya ilmu yang lazim dikuasi adalah pertama: ilmu tentang kewajiban beragama yang mencakup Iman dan Islam, kedua: ilmu tentang halal dan haram yang selaras dengan pelaksaan agama. Ketiga: tidak jahil terhadap syariat Islam.

2. Terlaksananya sekularisasi dalam seluruh kehidupan.
Menjadi sunnatulloh terjadinya pertempuran peradaban antara yang haq dan bathil, antara keimanan dan kekafiran, antara petunjuk dan kesesatan. Untuk itu ideologi dan keyakinan selain Islam tidak menjadi domonan, apalagi terjadi sekularisasi dalam setiap lini dengan memisahkan syariat dengan agama.
Jika hal demikian terjadi, penerapan syariat Islam menjadi semu dan sulit dilaksanakan. Apalagi kebebasan tanpa batas tidak dibingkai dengan baik yang dapat mengakibatkan kemerosatan dan kerusakan bangsa.

3. Berhukum dengan akal atas nama maslahat.
Dengan menggunakan maslahat bukan difahami maslahat yang kebablasan tetapi maslahat yang koridor syariat Islam. Karena itu maslahat tidak boleh dilakukan selama ada nash syar’i yang jelas (qoth’i). Untuk itu maslahat dibolehkan dalam bidang muamalah yang disana tidak tercantum nash secara jelas.
Jika saja bingkai akal itu lebih dominan, pastilah maslahat satu dengan yang lainnya berbeda. Karenanya maslahat dalam Islam memiliki peringkat masing-masing baik dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat dengan penggunaaan maqoshidus syariah, yakni melindungi agama, jiwa, akal, harta dan kehormatan.
Karenanya maslahah memiliki patokan (dhowabit): pertama: Maslahat mencakup semua dharuriyah qothiyyah. Artinya mencakup keseluruhan kaum muslimin dan tidak parsial (adhariyat al-khams). Kedua: Tidak bertentangan dengan huku yang dibangun dengan nash dan ijma’. Ketiga: Tidak bertentangan dengan qiyas. Keempat: Tidak melakukan maslahah kecuali dengan mendahulukan peringkat yang lebih tinggi dahulu.

4. Perselisihan antara aktivis Islam dalam dakwah Islam.
Tidak boleh adanya perselisihan sesama para da’i. Karenanya perselisihan itu dpat mengancam eksistensi kaum muslimin. Untuk peran para ulama dan aktivis Islam untuk tidak terpecah dan bertengkar dalam urusan agama. Karenanya, Islam dibangun dengan kekuatan umat yang satu dan persaudaraan.
Jika saja permaslaahan itu hanya furu’ atau cabang saja masih dibolehkan selama itu bukan hal-hal yang mendasar dan pokok dalam Islam. Perselisihan itu hendaknya dibangun pula dengan semangat ukhuwah, adab dan bingkai syar’i tanpa harus menggunakan kekerasan atau dengan hikmah.

Kesimpulan

Telah dipaparkan diatas bahwa penerapan syariat Islam sebuah keniscayaan. Syariat Islam dengan apa-apa yang disyariatkan Alloh kepada hamba-hamba-Nya dari keyakinan (aqidah), ibadah, akhlak, muamalah, sistem kehidupan dengan dimensi yang berbeda-beda untuk meraih keselamatan di dunia dan akhirat.
Dari sini kita dapat mengatakan bahwa syariat Islam relevan dalam setiap masa dan waktu serta sangat mungkin diterapkan pada masa modern ini dengan syarat-syarat berikut :
1. Kembali kepada ajaran Islam keseluruhan dan tentunya pintu ijtihad masih terbuka.
2. Bebas dari tekanan realitas baik dari hal yang berlawanan dengan syariat.
3. Bebas dari cengkraman dan pemikiran barat.
4. Pentingnya keberadaan pemimpin yang komitmen terhadap Islam.

Tuntutan syariat Islam ini merupakan dakwah yang dilakukan oleh para nabi dan rasul. Mengajak manusia dengan berdakwah kepada Alloh adalah jalan menuju saling menguatkan sesama kaum muslimin dan merapatkan barisan mereka. Yang tentunya dilakukan dengan akhlak yang mulia untuk menjalankan apa yang diperintahkan Alloh dan menjauhi segala larangan-Nya.
Tuntutan penerapan Islam dalam negeri ini maupun dunia Islam dengan legal formalistik melalui undang-undang dan peraturan lainnya, ataupun melalui formal simbolik maupun melalui kultural. Yang terpenting penerapan syariat Islam bisa terlaksana dengan baik tanpa ada integrasi dan perpecahan bangsa dan negara serta bersatunya menjadi kekuatan baru menuju penerapan syariat Islam yang sempurna.

DAFTAR BACAAN:
Abdulloh Nasih Ulwan, Muhadhoroh Fi Syariah Islamiyah, (Cairo: Dar as-Salam, 1990).
Abdul Karim Zaidan, Al-Madkhol lidirosah Syariah Islamiyah, (Amman: Maktabah Al-Basyair, 1990)
As-Syatibi, Al-Muwafaqot fi Ushuli Syariah, (Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah, tt).
Deliar Noer, Islam dan Politik, (Jakarta: Yayasan Risalah, 2003)
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999).
Jaridah al-Ikhwan, tahun ke 4, edisi 11, tahun 1936.
John L.Espito, ed, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, (New York: Oxford University Press, 1995).
Manna’ Al-Qattan, Tarikh Tasyri’ al-Islami, (Beirut: Muassasah Risalah, 1993)
Manna’ Kholil Al-Qattan, Wujub Tahkim Syariah Islamiyah, (Cairo: Dar at-Tauzi wa an-Nasyr, t.t)
Muhammad Syuwa’ir, Tathbiqus Syariah Thoriqul amni walizzah, (Cairo: Dar As-Sahwah, 1987)
Yusuf Qardhawi, Membumikan Syariat Islam, terj, (Bandung: Arasy Mizan, Cet 1, 2003)
Yusuf al-Qaradhawi, Al-Khosoisul Amah Lil Islam. (Cairo: Maktabah Wahbah,1989)
Yusuf al-Qardhawi, Ummatuna Baina Qornain, (Cairo: Dar al-Syuruq, 2000)
Yusuf al-Qaradhawi, Syariatul Islam, Khuluduha wa sholahuha li tatbiq fi kulli zaman wa makan, (Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1987)

sumber:
http://layananquran.com/index.php?option=com_content&task=view&id=46&Itemid=9

Tidak ada komentar: